Guru Durna Hingga Guru Kekinian
3/13/2018
Add Comment
Pegiat Literasi Lamongan
Bicara tentang dunia pendidikan memang tidak ada habisnya, apalagi jika membicarakan tentang profesi guru sebagai profesi mulia dalam mengemban tugas mendidik dan mengajar siswa. Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan, sudah barang tentu mempunyai visi dan misi yang jelas dalam menentukan arah kemana pendidikan ini dibawanya. Ibaratnya, guru adalah imam yang membawa makmumnya menjadi baik, atau justru sebaliknya. Guru merupakan panutan bagi peserta didik, tentunya yang dilakukan sang guru akan ditiru oleh murid-muridnya.
Sebagai panutan, guru harus mampu menanamkan benih-benih kebaikan dan kebajikan, baik dalam bersikap, bertindak maupun berperilaku. Hal ini, sesuai dengan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodho, yang berarti posisi di depan adalah memberikan contoh. Sebelum memberikan contoh baik kepada peserta didik, guru harus mengintropeksi diri, sudah benarkah dalam berkata, bersikap, dan berperilaku, sehingga pantas menjadi teladan bagi anak didiknya?
Filosofi Jawa mengajarkan tentang urutan dan tata cara memperbaiki dunia dimulai dari memayu hayuning salira, memayu hayuning kaluwarga, memayu hayuning bawana. Kalimat tersebut bermakna ajakan kepada semua orang, terutama kepada para guru untuk mau mengoreksi pribadi masing-masing, sebelum menjadi contoh yang baik bagi peserta didiknya, keluarga, masyarakat sekitarnya, dan bagi dunia pendidikan khususnya.
Berkaca pada Guru Durna
Guru dari masa ke masa memang selalu ada cerita. Bahkan, dalam jagad pewayangan terdapat sosok dan perlambang guru sakti nan handal di dunia seni perang. Dialah Guru Durna, gurunya Pandawa dan Kurawa. Namun sangat disayangkan, Guru Durna ini hanya bersedia menerima murid para ksatria keluarga raja.
Dikisahkan, suatu hari Karna pernah melamar kepada Durna agar diangkat menjadi murid. Nyatanya, Durna menolaknya mentah-mentah. Alasannya, karena Karna hanya putra angkat seorang sais istana, sehingga tak layak dijadikan murid. Penolakan itu tentu membuat Karna sakit hati, hingga akhirnya menyamar sebagai brahmana dan memperoleh ilmu keperwiraan dan memanah yang mengagumkan.
Begitu pula, cerita Bambang Ekalaya yang meminta menjadi murid Durna dan ditolak karena bukan kerabat raja. Ekalaya lantas mengintip Durna mengajarkan cara memanah kepada Pandawa dan Kurawa. Ekalaya membuat patung Durna dari tanah liat dan belajar memanah dengan menganggap patung tersebut sebagai Durna. Beberapa saat kemudian, datanglah Durna ke tempat latihan Ekalaya dan memarahinya karena telah mengaku sebagai muridnya. Agar murid kesayangannya, Arjuna tak ada tandingan, Durna akhirnya meminta kepada Guru Dakshina agar Ekalaya menyerahkan ibu jarinya. Ekalaya patuh. Saat itulah, dia tidak bisa lagi memanah dengan sempurna.
Karakter Guru Durna yang demikian inilah yang masih sering dijumpai di zaman sekarang. Dengan kata lain, guru hanya mau mengajar, jikalau muridnya adalah kalangan orang mampu dan lebih menjanjikan kekayaan. Disamping itu, Guru Durna melambangkan sosok guru yang selalu menyesatkan dan menyengsarakan peserta didiknya hanya karena dasar kebencian.
Dalam kisah Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang jawa, Durna adalah adalah gambaran pribadi guru yang licik, berkhianat, dan tidak amanah melalui ajaran-ajarannya. Durna menginginkan agar kurawa yang berjaya. Cara licik dilakukan, yaitu dengan menjadikan Bima, yang merupakan andalan Pandawa mendapatkan celaka. Bima diberikan ajaran, bahwa untuk mencapai kesempurnaan demi kesucian badan, Bima diperintahkan untuk mencari air suci penghidupan. Bima mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin tertipu. Ia tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru, walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durna untuk mencelakakannya.
Begitulah, sifat dan tabiat Guru Durna memang tidak pantas dijadikan teladan oleh para guru di negeri ini. Di sisi lain, guru dalam ajaran Agama Hindu termasuk kasta Brahmana, kasta tertinggi dan mulia sudah semestinya bersikap, bertingkah laku yang baik, bertanggungjawab, amanah, dengan dilandasi keikhlasan dalam mendarmakan baktikan wiyatanya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman yang serba cepat, guru dituntut mengikuti perkembangan dari masa ke masa. Guru masa kini bukan berarti meninggalkan tradisi dan budaya yang baik di masa lalu. Namun, guru masa kini adalah guru yang mengikuti trend kekinian agar memiliki kompetensi yang lebih baik dari sebelumnya. Contoh paling gampang adalah guru selalu meng-update metode pembelajaran yang lebih terbarukan, menginovasi media pembelajaran, dan lebih gemar membuat terobosan-terobosan baru untuk dunia pendidikan.
Kekinian guru di era sekarang, bukan hanya sebatas eksis di media sosial, mengunggah foto atau aktif di jejaring sosial, dan lain-lain. Tetapi, guru kekinian lebih mengedepankan eksistensinya dalam berkarya, menciptakan keaktifan dalam mencerdaskan anak bangsa, dan lebih mengedukasi melalui prestasi. Kekinian erat kaitannya dengan masa kini. Guru masa kini bukanlah guru masak gini. Guru tak boleh hanya gini-gini saja, monoton, dan stagnan. Di era digital, guru seharusnya mobile, dinamis, dan terus bergerak dalam membuat terobosan hebat di dunia pendidikan.
Kata kekinian erat kaitannya dengan kata ngehits. Jangan berpikir seorang guru tidak bisa ngehits. Ngehitnya guru bukan hanya pencitraan dan mencari sensasi. Bukan pula disebabkan guru tersebut cantik, ganteng, tempat ngumpulnya di tempat mewah nan elite, serta berasal dari keluarga terpandang. Ngehits-nya guru bisa dilihat dari eksistensinya menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya, baik melalui karya-karyanya dalam mengembangkan metode pembelajaran, membuat inovasi model pembelajaran yang baik, dan berprestasi sesuai bidang dan keahlian yang digelutinya.
Bahkan, Muhammad Saw. adalah nabi sekaligus guru besar kehidupan umat manusia. Dan lihatlah, Ngehits-nya Nabi Muhammad adalah melalui teladan yang baik. Saking terkenalnya, di dalam Al-Quran lebih banyak menjelaskan tentang keteladanan Nabi Muhammad dan akhlaknya yang baik, dibandingkan dengan ketampanan dan kekayaan beliau. Kita tentu berharap, terutama kepada guru masa kini yang cerahnya masa depan terletak di pundaknya, agar mengambil keteladanan Muhammad Saw. Tidak justru menjadi pengikut Guru Durna, guru yang tidak layak untuk dijadikan contoh bagi guru di Indonesia.(*)
0 Response to "Guru Durna Hingga Guru Kekinian"
Post a Comment